Friday, April 06, 2007

KONVENSI HAK –HAK PENYANDANG CACAT

Pada tanggal 30 Maret 2007 lalu lebih dari 80 negara, termasuk Indonesia yang diwakili oleh Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah. menandatanganani Konvensi tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Cacat (Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities). Konvensi ini telah disetujui Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam sidang ke-61 , tanggal 13 Desember lalu . Peristiwa tersebut menjadi momentum penting terhadap pengakuan hak penyandang cacat untuk hidup setara dengan warga masyarakat laiinnya dan kewajiban Negara Pihak untuk mewujudkannya.


Hal ini nampak pada prinsip-prinsip yang termuat dalam konvensi, yaitu menghormati harkat dan martabat Penyandang Cacat, non-diskriminatif, partisipasi penuh, aksedibilitas, penghormatan terhadap perbedaan dan penerimaan Penyandang Cacat sebagai bagian dari keanekaragaman manusia dan kemanusiaan. Sesungguhnya tidak ada hak-hak baru bagi penyandang cacat yang termuat di dalamnya; juga tidak ada sesuatu hak yang warga masyarakat lainnya tidak miliki sebelumnya. Konvensi ini lebih menekankan bahwa penyandang cacat harus diberi kesempatan yang sama dan dijamin hak-haknya sebagaimana warga masyarakat lainnya. Konvesi ini sekaligus merupakan refleksi perubahan paradigma dalam penanganan masalah penyandang cacat dari yang bersifat remedial dan belas kasihan pada pendekatan hak asasi manusia..
Jutaan penyandang cacat dunia berharap konvesi tersebut dapat membawa perubahan pada terciptanya masyarakat yang tidak diskriminasi dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan bidang kehidupan lainnya, termasuk informasi dan lingkungan fisik yang bebas hambatan bagi semua; kesamaan untuk mendapatkan jaminan di muka hukum dan inklusif secara penuh dalam masyarakat dengan tanpa membedakan usia, jenis kelamin, lokasi tempat tinggal dan jenis kecacatan.

Keikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam penandatangan konvensi tersebut tentunya bukan sekedar basa basi pergaulan masyarakat internasional, karena selain membawa konsekuensi tindak lanjut (pemantauan oleh dunia internasional), negara ini juga berkepentingan untuk mengimplementasikannya sebagaii negara yang mempunyai prevalansi disabilitas (angka kecacatan) yang cukup tinggi – mencapai 39 per sen dari jumlah penduduk - menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan tahun 2001.

Untuk mengimplementasikan Konvensi Hak Penyandang Cacat ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian, Pertama ,yaitu tumbuhanya kesadaran masyarakat terhadap pendekatan hak asasi dalam penanganan kecacatan. Hal ini berarti harus ada edukasi pada masyarakat dalam segala tingkatan bahwa hak-hak yang mereka miliki sebagai warga masyarakat juga seharusnya dinikmati oleh penyandang cacat. Pemahaman kecacatan bukan cuma masalah medis atau rehabilitasi untuk memulihkan kondisi kerusakan organ atau fungsi anatomi seseorang. Kondisi kecacatan juga bukan sesuatu yang menjadi objek belas kasihan atau sesuatu yang harus disembunyiikan dan dikucilkan. Kecacatan harus dipahami sebagai situasi yang kompleks yang terjadi akibat interaksi antara kerusakan / kelainan anatomi seseorang, dengan sikap masyarakat, serta adanya rintangan/hambatan dari lingkungan fisik yang tidak akomodatif.

Kedua, perlu adanya reformasi dibidang hukum dan perundang-undangan.. Segala peraturan , kebijakan atau tindakan yang bersifat diskriminasi terhadap penyandang cacat harus ditinjau ulang dan dilakukan perbaikan serta sanksi terhadap pelanggarnya.. Misalnya, ketentuan persyaratan sehat jasmani dan rohani dalam melamar pekerjaan , begitu juga persyaratan untuk dipilih dalam Pemilihan Umum. Ketentuan sehat jasmani dan rohani sering diartikan sebagai kondisi tidak cacat. Begitu pula dalam hal penggunaan transportasi dan fasilitas umum,.Lihat saja, hampir sepanjang tahun, trotoar di DKI Jakarta dan kota besar lainya dibongkar pasang, namun tak pernah memperhatikan aspek aksessibilitas fisik dan lingkungan yang dibutuhkan kalangan penyandang cacat. padahal sejak tahun 1981 Pemda DKI telah mengeluarkan aturan aksesibilitas bagi penyandang cacat pada fasilitas umum dan bangunan. Dan diperkuat lagi dengan Undang-undang Bangunan Tahun 2002 serta Kepmen PU Nomor 468 tahun 1999 tentang persyaratan teknis bangunan dan lingkungan.
Ketiga, pemerintah dalam setiap tingkat perlu mengimplementasikan administrasi penanganan kecacatan yang bersifat integratif termasuk pembiayaannya. Mengingat hak-hak penyandang cacat bersifat asasi, maka hak-hak tersebut seharusnya terdistribusikan secara luas, yang berarti juga perlu pelembagaan pengakuan hak-hak orang dengan disabilitas pada setiap sektor dan level pemerintahan. Anggapan bahwasanya mereka adalah tanggung jawab Departemen Sosial an sich!, sudah waktunya diubah. Permasalahan penyandang cacat tidak cukup diatasi hanya oleh Departemen Sosial.

Untuk itu, saatnya pemerintah melaksanakan kebijakan pengarusutamaan masalah kecacatan, misalnya dengan sistem pembiayaan pembangunan yang peka terhadap isu disabilitas (disability budgeting) Artinya, setiap sektor dan setiap level pemerintahan , memasukan orang dengan disabilitas sebagai sasaran pelayanannya termasuk menganggarkan pembiayaan untuk keperluan tersebut.. Misalnya, Program Penanggulangan Kemiskinan, juga diperuntukan bagi orang dengan disabilitas; begitu juga dalam program kesehatan seperti kesehatan reproduksi, juga ditargetkan bagi orang dengan disabilitas.


Hal lain yang perlu menjadi perhatian dalam implementasi Konvensi Hak Penyandang Cacat adalah bagaimana hak-hak tersebut ditransformasikan dalam praktek-praktek budaya lokal. Tidak dipungkiri bahwa praktek budaya lokal terhadap orang dengan disabilitas sudah melembaga dari generasi ke generasi dan bervariasi antara satu budaya dengan lainnya. Agar praktek budaya lokal dapat mendukung implementasi Konvensi tersebut, perlu dikomunikasikan dengan melibatkan media massa , termasuk kepada pemuka adat dan agama.

Tuesday, January 25, 2005

SOCIAL AND ECONOMIC IMPACTS ON REPRODUCTIVE HEALTH WOMEN WITH PARAPLEGIA A CASE STUDY OF INDONESIAN WOMEN WITH PARAPLEGIC

Introduction

Health is human right however poor people may not live healthy. Socio-economic deprivation has been highly correlated with poor health, and is primarily responsible for inequalities in health amongst the social strata (Chermack:90). Concern to health problems and poverty, international communities at the Millennium Summit of United Nation in year 2000 adopted The Millennium Development Goals (The MDGs) which calls for a dramatic reduction in poverty and improvements in the health of the poor. Indonesia is one of developing countries which has about 33.1 million of total population live under poverty. Included part of this group are poor people, women and individuals with disabilities. For maintain and improve quality of life its people Indonesian government provided health services (Law No. 6/1974; Law No. 23 /1992; Law No. 4/1997). Further more , since 1999 its country set up health targets which called “ Health for Indonesia by the year 2010” that focused on 4 mission : a. activation of health oriented national development, b. increase and maintain individual family, community and environmental health, c. increase and maintain health services, d. support people to stay health based on their own effort (The Ministry of Health Republic Indonesia : 2000).
A research reported across the world, persons with disabilities are among the most under serviced people, in term of medical care and other services (Frye: 1993). Whereas individuals with disability are at above average chronic diseases (Nosek: 2000). It may because impairments and functional limitation present symptoms differently from persons without disability (Thomas:1999). ). Furthermore identified some health problems which common face women disabilities such as chronic urinary tract infection (UTI), depression, osteoporosis, restrictive lung disease, inflammatory bowel disease, heart disease, seizure disease and kidney disease ( CROWD: 1999). Indeed , health problems of women with disabilities may be complicated by gender. (Traustadottir : 1990) cited Menzt. et.al suggest stereotypes ascribed to people with disabilities and women, in general, condones passivity, dependence, helplessness and failure that these seem to be shared by general public and physicians, the result being that women with disabilities are less likely to be paid attention. Some evidences within literatures on health issues and concerns of women with disabilities may suggest this. (Morrow: 2000; Chappell :1996; Masuda: 1999; Fry :1993; Fawcett : 2000). However these reports mostly from western countries. Information about health of women with disabilities within developing countries limited , for example. (Ghosh: 2004; UN-ESCAP: 2002) and its information not in details so needed further research for understanding health problems related women with disabilities within different societies.
Therefore this study conducted to gather information life experiences and needs of women with disabilities related health in a developing country , in particular within Indonesian context.. The rationale behind this study is that though no comprehensive data available about women disabilities in this country that it would be expect the number of its population significantly high. National Board on Statistic reports (BPS : 2003) that more than 55 per cent of Indonesian population are women. Then, according to Department Social Affairs (2002) there was 45 person with disabilities in each 1000 population. Furthermore, a report stated number prevalence of injured among women higher than men .This repot also mentioned that prevalence transmitted diseases, maternal, prenatal and malnutrition among women higher compare to men. Further, the same report identified prevalence non communicable diseases on women higher than men at range age group of 15 to 44 year old (Budijanto et al. : 2000). In addition to these, another report suggest that Indonesian women more likely high mortality incidence caused of diseases related to women such as breast cancer, cervical cancer and postnatal (www.SinarHarapan.com). Given these evidences ones may imagine when such problems happened on women with disabilities that those may have had health complication caused of their disability conditions. Furthermore , The International Classification of Functioning Disability and Health (WHO: 2001) that suggest disability encompassed not only the physical or mental conditions that affect the body / mind but the ways in which environment create obstacles or barriers to those individuals with such conditions. It is imperative to describe how people live with their health conditions and to consider the intersections between health, body functions, activities and participation from a body, and the individual and social level These suggest that concerned of health Indonesian women need to pay attention seriously, including those are women with disabilities.
In order to gather information of needs women with disabilities this study conducted that chosen Indonesian paraplegic women. Choice its group as they may have “unique” problems of health and conditions both as female and with disabilities, especially related to their reproductive health.

Method and Participants

The study employed a qualitative research and collected data trough study literature, a group discussion of paraplegic women who are living at residential services, in depth interviews with them and those are living with family, and direct observation to women with paraplegic, their family members and services providers. Initially focus group was held and then in-depth interview’s which according to Grbich (1999) as the most appropriate technique to gain information on the perspectives, understandings and meanings constructed by people regarding the events and experiences of their lives. Semi-structured interviews and thematic categorization data provided to ensure all topics were covered (Patton:1987), and it allowed the participants to develop a topic, to identify the issues, and to give an indication of the language used in their setting (Kidder & Judd : 1986).

Participants of research were purpose selected consist of 4 women paraplegics those living at institutional rehabilitation and 3 women living with family. Their length of time had paralyzed more than 2 years.

Results

General Characteristics of women with disabilities in this study had paraplegia caused of motor accident, (4) workplace accident (1) , home accident (1) and unknown disease (1). Their range age between at 18 to 50 years old. Level education from secondary school to College/ university (4 at level junior high school, 2 at level secondary school and rest at level college /university). Status occupation : 1 government official , 4 unemployed , 2 self-employed). With regards marital status : 1 married , 1 divorced and 5 single. Live length had paraplegia range at 3 up 37 years.

The findings could be summarized into 4 themes . These themes were : a). Self expressed of conditions b). Health status; c). Health information and accessibility d). Social belief and religion matters; e). financial supports.
Self expressed of conditions
There were variety expressed of women with paraplegic in this study of their conditions, mostly tends to be submissive to their destiny. Take for example these testimonies:
• I am like just other women, what different is that I user wheel chair
• It is something that had to be, I have to accept it
• Life must go on
• I am sad, upset and angry, but do not know to whom I angry with.
• Just let it flow.
• Paraplegia….It had never come to my mind before but it happened to me, The God may have others plans to me….

Health status

When asked to express their health conditions, the majority answers is that “Just so so”. This kind of answer need further to be interpreted with other conditions. This contrast to others answered. For example group discussion identified some health problems they had, such as urinary , muscle spasm , swollen of legs, fever and skin problems around vagina. This group also mentioned catheters and diapers to control bladder. The oldest woman told she had many surgery treatments caused of stones within kidney and skin irritations during her live long paraplegic. A young woman told had a surgery for breast cancer. Almost all participants take medicines for relief pain and fever. Among participants only 2 of them mentioned take regularly medical examination, in particular for urinary tests.

In regards to reproductive health some questions be asked, namely, menstruation, child bear, sexual functioning, parenting, contraception, menopause and cancer related women. However not all these issues has been responded by the participants. There was a bite difficult to get information about these issues but then within group discussion it can disclosure a few things of these. All women told that the period of menstruation is trouble time for them to manage its hygiene, smell and leakage as it complicated with urinary problems. Some women told during the menstruation time more often arise spasticity and cramping. The oldest woman in this study had menopause a few years ago. Another married woman told that she under her husband permitted took sterilization . Most participants told that birth control is importance. for women with paraplegic however, unnecessary for sterilization, except when have children. Regarding child bearing, all participants said women paraplegic be able bear children. Married woman did not want to talk about her sexual activities, either single women in this study not gave their view about this issue. It can be understood within Indonesian culture sexual activities only for those married, even for married persons uncommon talk it opened.


Health Information and accessibility
Information related health preventive and treatment is very importance for those live long time with impairment such as paraplegics women. But, almost all participants felt that information for health care was lacking, particularly about reproductive health matters. “Gynecologist / obstetricians have not offered information about typically health reproductive. “, said a woman. Most participants released that before back home after injured they got some information for bladder and bowel management and some kind self physical exercises but not for reproductive health issues. For example a old woman who are menopause expressed she had depressed because of continue bleeding for long periode. She did not know before whether this is common on menopause women or not up seen a gynecologist. When be asked about risk of doing sex activities or pregnancy for women with paraplegic, only one of them have knowledge about that while others not know. This women said she know about that by read books and asked to doctors where she work (She is working at a hospital and used to be a nurse ). The participants were asked about importance for medical examinations, only two participants conducted its regularly. While others told as long as they did not complaint of their health condition they would not go to see doctor. The discussion group told if they have complaints of health they will ask firstly to friends those are paraplegic or family members. It suggest answered by a gynecologist who stated have no patients paraplegia to see him. While another physician told he would not gave information for health preventive and care, especially on reproductive health to women paraplegic or their partner if the clients not asked to him. Lacking information about taking health care of their reproductive functions some women felt fear to get married, it can be identified by a statement “despite I know I will be able to have a child but I am afraid if I had children with disability too”.

Beside lack of information, group discussion and other participants identified problems in gaining access to health services. “It was very terrible for me to get into table medical exam”, said the old women about her experiences saw the gynecologist at the time she had bleeding of her post- menopause. Another complaints no public transport available for wheel chair users. “Every times go to some where, we have to use taxi or car rental”. Two women told that she prefer for not go many where if not very important because of it will be terrible to find accessible toilets. A parent who sent his daughter to the institution gave reason that his house design and building were not accessible for her daughter who user wheel chair. In terms of accessibility, participants were not only indicate about, transportation, design of medical equipment and building and physical environment, but also the bureaucracy surrounding the accession of a “ health card” that entitling poor people to use of government hospital, in particular primary health care provider. “ I wanted the card. Everyone’s pulling out forms,… about this many!”

Social practices and cultural issues
Participants were asked to respond items regarding social practices or cultural. Most women think that rehabilitation center were the best place for them for live. Some family members of participants also stated same answer for the same question. Take one for example, “ everything will be easy for my daughter and for us if she stayed at Panti “ (institution for persons with disabilities). When asked about their satisfaction of services mostly answered satisfied. Within Indonesian cultural, women will be respected when she married and have children. Majority participants considered that women with paraplegic should be able to marry and have children, but when be asked to them about acceptance of men (men without disability) to have wife with disabilities, their answer doubtful. “As a women we just accept”, said some women. A woman told that she has boy friend, her boy friend just know that she user wheel chair and not about urinary problems. She never talked about this problem because of she afraid her boy friend will leave her. The divorced women within discussion group suggest that her husband left after she got paralysed. Another family member of participant told that men usually seeking wife who can serve him all in, it meant that women paraplegic not into account. With regards economic income, participants believed that family members (parents) responsible to handle their expenditures as they are unemployed.




Financial supports
Cost for health care and treatment is the most complaint of participants both those are living at residential services and with family. “Every things is money”, said one participant. They indicated many kind expenditures , such as bill for doctors, medicines, medical treatments like physiotherapy , medical examinations and laboratorium. Beside that they also expended money for transportation and devices for activity daily living, include for catheter or diapers. “Although I have job and salary I could not afford to pay all these thing”, said a woman. A young woman told although she covered by health insurance of her parent it just for little things not all. “The coverage of this health insurance just for a while, at the time I am 21 I would be any longer coverage by ASKES ( a kind health insurance for government official and family members). The group discussion who living at government’s residential services told that they received assistance from foreign donators for catheter and diapers. However, these kind of assistance depend on available donors as this statement. “Some times the donor come here and gave us job (handicraft works like making greeting cards)”. Costs problem be more difficult as most of them unemployed. Mostly they received money from family (parents) and one stated some times received money from her daughter. For those participants living at a government residential services , although some of them eligible for health subsides but its covered very limited amount. “Costly is one of the reason why I did not take regularly to see the doctor”, said a woman.

Discussion
Based on results present of this study reinforces the importance to understanding health problems of women with disability, particularly those paraplegics within a frame work socio and economics aspects , rather than restricted medical approach.

The significant findings of this study is the main expressed of women paraplegic which stated the submissive personality of their condition. With regards of their health conditions they see its as just so so, while in reality they appeared to the researcher to be abysmal. Some health problems in fact happened to them the ranged from fever, muscle spasm, urinary dysfunction, stones within kidney, skin break down , even cancer. This needed interpreted in term of service provision. It is possible these expression were reflection of a characteristics of the Indonesian personality who simply “accepts” without complaint (Lysak & Krefting: 1994). Beside that were no complaints of their health conditions by a statement “just so so”, it may reflection of a justified health problems to their life condition in order to make these problems become as “naturally”. In processing to make adjustment of these health condition into their live, ones may unaware that by time gone their impairment and disability can be worse. This situation could be seen on the case of the old women in this study who not only had urinary problems but stones within kidney, and took many times skin surgery on her back.

Results from this study found that women with paraplegic were lacking get information about health care, in particularly with regards their reproductive health and also inferior to get health services. It can be argue if women paraplegic and partner or family members did not have appropriate information about health care and accessing health services , this not only create new health problems of women paraplegic and make existing problems become worse but also in terms of acceptance this kind group women within society.

This study also found that mostly women with paraplegic obtained their main form income from family member. This is not surprising as most of them unemployed. This situation may typically within developing countries. Vitachi (1995) mentions that Asian people believe more strength in the family to provide welfare for people with special needs. However, in this study though family members gave financial support to their member with disability its could not covered many things of their expensive. For those living at institution some times they have jobs related handicraft, but this job temporary. This is a clear indication that to maintain health care and improve quality of life women with paraplegic the economics aspect need to be considered.

Results finding of this study identified that gender issues, especially related reproductive health care were not considered into rehabilitation setting. Physician and professional worker in health and social services being focused on their own discipline. For example, there were no programs available or information on women’s health in resident services. While in other side the physician been educated and focused on the disease, so disability aspects not encountered. This evidence can be seen by the statement of a women in this study who felt terrible get onto table for medical test of her reproductive function organs.

Because of this study had a very limited sample, findings this study on health situation of Indonesian woman with paraplegic may not be able to generalized. Women with paraplegic who participated in this study limited those live in Jakarta. Jakarta is the capital city of Indonesia which its city may offered many health care facilities. For those women paraplegic living out side Jakarta or rural areas the situation may have more complicated.



* The author is an activist disability movement and also an official government for The Ministry of Social Affairs Republic Indonesia. (evakasim@yahoo.com)

By : Eva Rahmi Kasim*
(Paper Presentation for 8th Annual Meeting of Globalforum for Health Research, November 2004, Mexico City, Mexico

Tuesday, January 18, 2005

TINJAUAN TERHADAP KEBIJAKAN INTEGRASI SOSIAL PENYANDANG CACAT KE DALAM MAINSTREAM MASYARAKAT

Peningkatan integrasi sosial kelompok masyarakat marginal ke dalam masintream masyarakat merupakan salah satu komitment masyarakat dunia dalam penyelenggaraan pelayanan sosial, seperti yang dinyatakan dalam KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen dan KTT Pembangunan Sosial di Jenewa beberapa waktu lalu. Hal ini juga menjadi komitment dalam penyelenggaraan pelayanan sosial penyandang cacat, seperti yang tersirat dalam jargon “Persamaan kesempatan dan partisipasi penuh penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan” yang menjadi landasan Program Dunia mengenai Penyandang Cacat ( World Program Concerning Disabled Prsons) tahun 1982. Akan tetapi sasaran yang ingin dicapai sejak lebih dari dua dasawarsa lalu itu, hingga kini belum banyak mencapai kemajuan, meskipun berbagai upaya sedang dan sudah dilakukan dalam mengatasi permasalahan penyandang cacat.

Melalui makalah ini saya mencoba untuk turut berbagi pendapat dengan melihat permasalahan penyandang cact dari aspek kebijakan yang dilakukan selama ini. Menurut saya, aspek kebijakan merupakan hal yang mendasar dalam upaya menangani permasalahan penyandang cacat, karena ada 3 hal penting yang terkandung dalam setiap kebijakan. Pertama, kebijakan memberi arti (meaning) tentang apa yang menjadi permasalahan melalui definisi permasalahan itu sendiri. Kedua, Kebijakan memberi arah serta tujuan dalam mengatasi permasalahan yang didefinisikan. Ketiga, kebijakan juga berimplikasi pada pengalokasian sumber-sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam kebijakan itu.

Dalam makalah ini, saya membatasi pembahasan pada 2hal yang umumnya selalu menjadi wacana dalam setiap diskusi mengenai kebijakan, yaitu definisi atau pemberian arti (meaning) terhadap permasalahan dan model yang digunakan untuk mengatasi permasalahan penyandang cacat.

Definisi Penyandang Cacat
Definisi atau pengertian terhadap permasalahan penyandang cacat, dapat dilihat dari konteks penggunaan berbahasa dan konsep yang digunakan.

UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Psl. 1 menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental , serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda).

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan definisi kecacatan ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability dan handicap . Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau fungsi psikologis, atau anatomis. Sedangkan Disability adalah ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi manusia. Adapun handicap, merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya imparment, disability, yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang bersangkutan.

Pengertian penyandang cacat dalam UU No. 4/1997 merupakan pengalih bahasa Inggris yaitu disabled person ke dalam bahasa Indonesia , menjadi penyandang cacat. Dalam konteks berbahasa, pengalihan kata disabled menjadi kata cacat telah menempatkan orang yang mengalami kelainan fungsi atau kerusakan struktur anatomis yang mempengaruhinya melakukan aktivitas, pada posisi yang dirugikan. Seperti diketahui, bahasa menentukan pikiran dan tindakan. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai makna, seperti: 1) kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapatpada badan, benda, batin atau ahlak). 2). Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); 3). Cela atau aib; 4 ). Tidak (kurang sempurna). Dari pengertian tersebut dapat diperhatikan bahwa kata cacat dalam Bahasa Indonesia selalu dikonotasikan dengan kemalangan, penderitaan atau hal yang patut disesali/ dikasihani. Anggapan ini dengan sendirinya membentuk opini publik bahwa penyandang cacat yang dalam Bahasa Inggris disebut disabled person itu adalah orang yang lemah dan tak berdaya. Bahkan, sebutan ini juga menempatkan mereka sebagai objek dan bukan manusia. Misalkan, kita sering menyebut sepatu yang tergores dengan mengalami cacat dan orang yang mengalami kelainan fungsi atau kerusakan anatomi juga sebagai cacat.

Dari segi konseptual, definisi penyandang cacat seperti termuat dalam UU No. 4/1997 yang juga mengacu kepada definisi yang dikeluarkan WHO, pengertian keadaan disability atau kecacatan dipahami pada konsep normal dan abnormal, yang melihat anatomi manusia sebagai sesuatu yang fleksibel dan dapat diubah. Konsekuensi pengertian ini menempatkan masalah penyandang cacat hanya pada hal yang bersifat anatomi atau proses yang bersifat psikologis semata. Misalnya, hal ini dapat dilihat dari pernyataan yang sering dikemukan sebagai berikut.” Banyak penyandang cacat tidak memiliki pekerjaan disebabkan impairment/ ketidakberfungsian organ anatomis”
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah hanya kondisi fisik tertentu yang menyebabkan seseorang terlibat dalam aktivitas kerja? Padahal, bekerja adalah suatu pelibatan peran seseorang yang terkait dengan faktor lingkungan. Pemahaman kecacatan yang demikian, kemudian hanya melihat masalah penyandang cacat semata dari hubungan fisik dan kemampuan untuk terlibat dalam aktivitas kerja, dan mengabaikan faktor-faktor di luar individu, misalnya, yang berasal dari masyarakat seperti hambatan arsitektural, atau hambatan non fisik berupa sikap atau perlakuan yang menyebabkan seseorang menjadi cacat.






Model-model yang dipakai dalam kebijakan penanganan masalah penyandang cacat

1. Individual Model / Model Medis

Model yang dipergunakan dalam kebijakan masalah penyandang cacat sangat ditentukan oleh bagaimana permasalahan tersebut dikonseptualisasikan. Di atas telah disebutkan bahwa, kecacatan dipahami sebagai ketidakmampuan seseorang dalam melakukan aktivitas yang dianggap normal/ layak akibat impairment yang dialaminya. Selanjutnya, pemahaman ini berimplikasi terhadap model pemecahan masalah penyandang cacat. Model yang digunakan selama ini didasari pada penggunaan strategi medis atau yang disebut juga strategi individual karena fokusnya pada individu penyandang cacat. Hal ini dapat dilighat dari penggunaan konsep rehabilitasi pada program-program yang ditujukan kepada penyandang cacat dan pembentukan organisasi pelayanan yang diperuntukan bagi penyandang cacat.

Rehabilitasi dimaksudkan sebagai suatu proses refungsionalisasi dan pengewmbangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu hidup secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Proses ini meliputi rehabilitasi medik, sosial, pendidikan dan vokasional. Hal ini didasari asumsi bahwa ketidaknormalan fungsi atau kerusakan struktur anatomi dapat disembuhkaan (dihilangkan), maka seseorang akan dapat melakukan aktivitas dengan layak/normal. Menurut model ini, kecacatan yang disebabkan oleh impairment adalah suatu kondisi yang bisa disembuhkan. Hal ini melihat kondisi individu sebagai sesuatu yang fleksibel atau dapat diubah, sementara lingkungan dimana seseorang itu berada dilihat sebagai suatu yang tidak mungkin berubah. Dengan kata lain, penyandang cacat dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Pendekatan medis yang didasari asumsi “penyakit sembuh maka masalah hilang”, pada kenyataannya tidak dapat menyelesaikan permasalahan penyandang cacat. Hal ini antara lain disebabkan imparment sebagai penyebab kecaatan tidak selalu dapat disembuhkan dan bahkan menetap sepanjang umur orang yang bersangkutan. Pendekatan rehabilitasi pun tidak sepenuhnya salah, namun harus diperhatikan faktor kondisi tertentu, seperti impairment yang bersifat sementara. Harus diingat, bahwa masalah penyandang cacat timbul oleh karena adanya interaksi dari akibat impairment dan faktor-faktor lingkungan.

Konsep yang dipergunakan untuk mendefinisikan penyandang cacat seperti tersebut di atas, berpengaruh pula terhadap pembentukan organisasi pelayanan yang dimaksudkan bagi penyandang cacat. Misalnya, Unit Pelayanan Penyandang Cacat Tubuh, Unit Pelayanan Penyandang Cacat Netra atau sebutan semacam Organisasi Untuk Kesejahteran Penyandang Cacat Mental. Tidak jarang, konsekuensi penyebutan yang demikian, menempatkan penyandang cacat sebagai subyek yang terlupakan. Mereka dikelompokan dan dikategorisasikan semata atas dasar penampilan fisik.

2. Sosial Model

Meskipun model individual/ model medis adalah model kebijakan penanganan masalah penyandang cacat yang digunkan banyak negara di dunia, namun sejak lebih dari dua dasawarsa yang lalu diakui bahwa faktor-faktor di luar individu, seperti lingkungan fisik dan non fidik juga turut menyebabkan seseorang menjadi penyandang cacat. Untuk mengakomodasi faktor di luar individu tersebut, pembuat kebijakan perlu memperhitungkan hal tersebut dan hal inilah yang mendasari timbulnya model sosial.
Bab IV tentang Kesamaan Kesempatan yang termuat dalam UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat adalah gambaran dari pelaksanaan model sosial.

Model Sosial umumnya beranjak dari pemikiran bahwa, hambatan-hambatan yang berasal dari luar lingkungan, yang menyebabkan ketidakmampuan seseorang yang mengalami impairment dalam melakukan aktivitas sehari-hari, terjadi karena lingkungan tidak mengakomodasi kebutuhan warga negara penyandang cacat. Misalnya, arsitektur bangunan didisain dalam bentuk berundak-undak sehingga pengguna kursi roda tidak dapat masuk atau menggunakan bangunan tersebut. Dengan kata lain ada pengabaian terhadap hak-hak penyandang cacat (diskriminasi), dan oleh sebab itu hak-hak penyandang cacat haruslah dilindungi.

Melalui perlindungan hukum hak-hak warga negara penyandang cacat, akan dapat terlaksana persamaan kesempatan dan partisipasi penuh penyandang cacat dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan Sayangnya, kebutuhan warga negara penyandang cacat dalam perspektif pembuat kebijakan selalu dipandang menjadi kebutuhan yang ‘spesial’ atau dalam bentuk spesial program. Misalnya, penyediaan aksesibilitas fisik dianggap sebagai kebutuhan yang bersifat khusus, padahal setiap orang dapat menggunakannya.

Penciptaan prgram-program khusus atau kebijakan yang diperuntukan khusus bagi penyandang cacat memang bermanfaat , namun terbatas untuk tujuan jangka pendek, karena biasanya program atau kebijakan itu bersifat temporer (biasanya tergantung pada good will dari pejabat berwenang dan juga tergantung pada ketersediaan dana).

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan penyandang cacat, yaitu ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, timbul bukan saja oleh karena adanya impairment yang dialaminya, tetapi disebabkan pula oleh faktor-faktor lingkungan di luar kemampuan individu yang bersangkutan. Oleh sebab itu, konsep kecacatan haruslah dipahami dengan melibatkan unsur-unsur tersebut.

Keberhasilan pelaksanaan model individual dan model sosial yang dipakai dalam menangani permasalahan penyandang cacat, memerlukan kondisi tertentu. Baik model sosial dan model individual, dalam implementasi kebijakan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Untuk itu, permasalahan penyandang cacat haruslah dilihat sebagai sesuatu yang universal dan menyeluruh. Universal dan menyeluruh dalam pengertian bahwa kecactan merupakan kondisi yang wajar dalam setiap masyarakat, karena itu pembuat kebijakan seharusnya juga memandang bahwa kebutuhan penyandang cacat adalah sama seperti warga negara lainnya dengan mengintegrasikan penyandangcacat dalam semua kebijakan yang menyakut segala aspek hidup dan penghidupan. (Makalah disampaikan oleh yangbersangkutan pada Konferensi Nasional I DNIKS yang bertema Kesejahteraan Sosial Membangun Harmoni Kehidupa dan Integrasi Sosial Bangsa, Juli 2001, di Jakarta)

Oleh : Dra. Eva Rahmi Kasim, MDS

Monday, December 13, 2004

CACATAN MENUTUP DEKADE ASIA PASIFIK BAGI PENYANDANG CACAT

Indonesia adalah salah satu negara anggota ESCAP
(Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan
Pasifik) yang menandatangi Resolusi 48/3 tahun 1992
tentang Dasawarsa Asia Pasifik untuk Penyandang Cacat,
termasuk berbagai agenda aksi untuk mengisi dasawarsa
tersebut. Setiap dua tahun sekali implementasi dari
agenda aksi tersebut dievaluasi dalam pertemuan
tingkat tinggi pemerintahan anggota ESCAP. Tahun 2002
merupakan akhir Dasawarsa Asia Pasifik untuk
Penyandang Cacat. Bagaimana peranan dan pencapaian
Indonesia dalam kurun waktu tersebut? Berikut ini
beberapa cacatan tentang hal tersebut.

Agenda aksi dasawarsa Asia dan Pasifik untuk
penyandang cacat dimaksudkan untuk meningkatkan
kualitas hidup penyandang cacat melalui prinsip
kesetaraan dan partisipasi penuh dalam berbagai aspek
kehidupan. Agenda aksi terdiri dari 12 bidang, yaitu:
koordinasi nasional bidang kecacatan,
perundang-undangan, kepedulian masyarakat ,
aksesibilitas dan komunikasi, pendidikan,
ketenagakerjaan, rehabilitasi, penyediaan alat bantu,
pemberdayaan organisasi penyandang cacat , serta
kerjasama regional dan internasional.

Secara keseluruhan, Indonesia sudah berupaya untuk
melaksanakan agenda aksi itu, hal ini dapat dilihat
dari upaya-upaya yang telah dilakukan baik oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat atau pemerintah
bersama-bersama dengan masyarakat, meskipun harus
diakui hasil dari pelaksanaan itu belum banyak memberi
perubahan pada perbaikan kondisi penyandang cacat
secara nyata.

Berberapa upaya yang telah dilakukan misalnya,
pengkoordinasian masalah kecacatan secara nasional
dengan pembentukan Tim Koordinasi Usaha Kesejahteraan
Sosial Penyandang Cacat. Pengkoordinasian penangan
masalah kecacatan secara nasional diyakini dapat
menyatupadukan dan menghindari tumpang tindih program
maupun kegiatan dan sekaligus memudahkan penyampaian
pelayanan hingga ke daerah terpencil. Pemikiran
tentang ini sudah dilaksanakan di Indonesia jauh
sebelumpendeklarasian Dasawarsa Asia-Pasifik untuk
Penyandang Cacat oleh UN-ESCAP. Hal ini dapat dilihat
dalam Keppres RI No. 39 Tahun 1983 tentang Lembaga
Koordinasi Nasional Penyandang Cacat. Keppres ini
terakhir disempurnakan tahun 1999 dengan No. 83.
Dalam kelembagaan ini Departemen Sosial menjadi
leading sector , namun ketika Departemen Sosial
dilikuidasi tahun 1999 hingga 2001, lembaga ini
menjadi stagnan. Kevakuman lembaga ini dengan
ketiadaan Depsos menyiratkan bahwa permasalahan
penyandang cacat di negeri ini masih terfokus pada
pendekatan kesejahteraan sosial, padahal permasalahan
penyandang cacat meliputi berbagai aspek hidup dan
kehidupan. Beruntung Depsos hadir kembali dan untuk
mengaktifkan kembali fungsi pengkoordinasian dalam
penanganan masalah penyandang cacat, Depsos kembali
berinisiatif untuk membentuk Tim Koordinasi Usaha
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat (Tim UKS Paca)
yang keanggotaannya terdiri dari beberapa wakil dari
instansi terkait, organisasi penyandang cacat,
pemerhati bidang kecacatan dan organisasi sosial di
bidang kecacatan , termasuk organisasi para penyandang
cacat.

Dalam hal peraturan perundang-undangan, di tahun 1997
pemerintah bersama DPR berhasil menghadirkan
Undang-undang No. 4 tentang Penyandang Cacat.
Undang-undang ini menjadi landasan untuk peningkatan
kualitas hidup penyandang cacat yang didsarkan atas
prinsip kesetaraan (persamaan) kesempatan dan
partisipasi penyandang cacat dalam berbagai aspek
hidup dan kehidupan. Beberapa hal yang menjadi bahasan
dalam UU ini antara lain masalah aksessibilitas,
rehabilitasi, kesempatan kerja, kesehatan serta
pendidikan.

Undang-undang tersebut juga sudah dikembangkan lebih
jauh dalam bentukperundang-undangan lainnya, seperti
Keppres, Peraturan Pemerintah, dan berbagai Keputusan
Menteri, Gubernur maupun dalam bentu Surat Edaran.
Sayangnya, meskipun UU ini sudah menyatakan tentang
persamaan kesempatan bagi penyandang cacat, masih
banyak peraturan perundang-undangan yang ada yang
bersifat diskriminatif terhadap penyandang cacat dan
belum ada upaya untuk melakukan perubahan (amandamen)
terhadap berbagai peraturan tersebut. Selain itu,
masih belum ada mekanisme pengawasan yang memadai atas
pelaksanaan Undang-undang No.4 / 1997 tersebut (law
enforcement). Sebagai contoh, masalah aksesibilitas
fisik. Dalam UU No.4/1997 dinyatakan bahwa persamaan
kesempatan diwujudkan melalui penyediaan
aksessibilitas. Lebih lanjut Kepmen PU No. 468 tahun
1998 menjabarkan masalah aksessibilitas fisik ini yang
berkaitan dengan lingkngan dan bangunan untuk publik.
Kemudian Menteri Perhubungan juga mengeluarkan Surat
Keputusan tentaang Penyediaan Aksesibilitas dalam
pemakaian transportasi umum bagi penyandang cacat dan
lansia, yang dituangkan dalam SK No. 71 tahun 1999.

Aksessibilitas yang merupakan prasyarat bagi
penyandang cacat untuk dapat berpartisipasi dalam
masyarakat bukan hanya bersifat fisik, seperti
lingkungan yang bebas hambatan dan transportasi yang
mudah, tetapi juga meliputi aspek non fisik seperti
sikap atau penerimaan masyarakat akan keberadaan
pnyandang cacat. Sikap yang diharapkan adalah
penerimaan secara wajar dan meniadakan diskriminasi
serta stigmasasi.

Catatan lain yang perlu menjadi perhatian adalah
masalah informasi dan data penyandang cacat. Hingga
saat ini informasi dan data tentang penyandang cacat
masih bersifat umum, itupun belum ada keseragaman
definisi tentang penyandang caat dan cara pengumpulan
data yang digunakan. Sebagai contoh, Depsos
mengelompokan jenis kecacatan atas dasar jenis cacat
tubuh, netra, mental, rungu dan wicara, psikotik dan
eks penyakit kronis. Sedangkan Depkes mengacu pada
definisi yang dikeluarkan WHO tentang Impairement,
Disability dan Handicap. Kehadiran data yang akurat
sangat diperlukan dalam perencanaan pelayanan bagi
penyandang cacat, misalnya, penyandang cacat yang
bermukim di pedesaan bisa jadi memerlukan pelayanan
yang berbeda dengan mereka yang tinggal di perkotaan.
Begitu juga penyandang caca anak, wanita yang
memerlukan pelayanan khusus. Untuk hal-hal tersebut
maka ketersediaan data dan informasi adalah sangat
penting.
Kesempatan kerja penyandang cacat, menjadi cacatan
penting dalam menutup Dekade Asia-Pasifik bagi
Penyandang Cacat. Belum ada keterangan yang dapat
dijadikan pegangan untuk mengetahui keberadaan
penyandang cacat yang masuk ke dalam sektor kerja
formal maupun yang mandiri secara ekonomi , namun
dapat dipastikan sangat sedikit sekali dari mereka
yang mamp menembus sektor kerja formal. Kenyataan ini
didukung oleh buruknya situasi perekonomian dalam
kurun waktu lebih dari 5 tahun terakhir yang berakibat
semakin banyaknya pengangguran dan semakin
kompetitifny persaingan memasuki bursa kerja.
Sebenarnya, peluang kerja bagi penyandang cacatsudah
dijamin dalam UU No.4 /1997 dengan penerapan Quota
system, yaitu setiap perusahaan diwajibkan
mempekerjakan penyandang cacat sebanyak 1 per sen dari
jumlah tenaga kerjanya atau membayar denda atau
dikenakan sanksi kurungan penjara. Namun, sayangnya
pelaksanaan ketentuan ini belum ditindaklanjuti secara
tegas, misalnya siapa yang berwenang melakukan
monitoring terhadap pelaksanaannya dan kepada siapa
denda dibayarkan.

Selain melalui kesempatan kerja di bursa kerja,
pemerintah juga sudah melakukan upaya peningkatan
keterampilankerja melalui program-program vokasional
training dan upaya kerja mandiri melalui KUBE
(Kelompok Usaha Bersaama). Strategi ini dapat
membantu menghapuskan/mengurangi pengangguran di
kalangan penyandang cacat, namun lagi-lagi program ini
sering berhenti di tengah jalan atau tidak
berkelanjutan.

Pemberdayaan organisasi penyandang cacat juga patut
menjadi cacatan. Kelompok penyandang caat sanat
penting peranannya dalam peningkatan kualitas hidup
penyandang cacat. Mereka mengupayakan advokasi bagi
kelompoknya dan menjadi role model . Keterlibatan
mereka dalam program-program yang menyangkut
penyandang cacat sangat diperlukan baik dalam hal
perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasinya.
Keberadaan kebanyakan organisasi penyandang cacat
hingga kini belum dilengkapi dengan kemampuan
manajerial dan finansil yang memadai. Pelibatan mereka
yang berada di akar rumput (daerah dan daerah
terpencil) masih kurang dan perhatian masih cenderung
pada mereka yang di kota -kota besar. Untuk
peningkatan (capacity building) organisasi penyandang
cacat harus terus diupayakan agar mereka dapat menjadi
agen pembaruan yang efektif bagi kelompoknya.

Menutup Dekade Asia-Pasifik untuk Penyandang Cacat,
para pemimpin negara anggota ESCAP yang hadir pada
pertemuan tingkat tinggi di Otsu, Shiga, Jepang,
sepakat untuk melanjutkan Dekade kedua Asia-Pasifik
bagi Penyandang Cacat dan meneruskan agenda aksi yang
belum terlaksana. Kesepakatan itu dituangkan dalam
Kerangka kerja yang disebut Biwako Millenium Framework
yang bertemakan masyarakat untuk semua, bebas dari
hambatan dan rintangan bagi penyandang cacat baik
fisik maupun non fisik serta didasarkan pada hak
asasi manusia. Prioritas masalah kecacatan yang
menjadi target perhatian diantaranya adalah
pemberdayaan organisasi penyandang cacat, wanita
penyandang cacat, deteksi dini kecacatan dan
pencegahan kcacatan, pendidikan, ketenagakerjaan,
aksessibilitas dan penghapusan kemiskinan. (eva)

Thursday, December 09, 2004

PENCA DAN SISTEM PEMILU

Berpartisipasi dalam Pemilu, baik sebagai pemilih
ataupun dipilih adalah hak dan kwajiban setiap warga
negara. Pemilu diyakini mempunyai arti penting dalam
setiap penyelenggaraan pemerintahan karena Pemilu
adalah pelaksanaan dari gagasan demokrasi pemerintah
oleh rakyat. Suatu pemerintahan dianggap demokratis
apabila rakyat berpartisipasi di dalam jalannya roda
pemerintahan. Melalui Pemilu anggota parlemen sebagai
wakil rakyat dipilih, selanjutnya anggota parlemen
inilah yang membuat kebijakan untuk rakyat. Akan
tetapi, banyak anggota masyarakat yang tidak dapat
berpartisipasi dalam Pemilu, terutama para penyandang
masalah kesejahteraan sosial. Bahkan ada kecenderungan
untuk menghalangi mereka berpartisipasi secara
demokratis. Salah satu kelompok masyarakat penyandang
masalah sosial yang terabaikan haknya dalam sistem
Pemilu adalah para penyandang cacat (untuk selanjutnya
dalam tulisan ini disebut penca).

Partisipasi Politik Penca
Seperti disebutkan di atas, salah satu tujuan Pemilu
adalah memilih wakil rakyat untuk duduk di Parlemen,
dan selanjutnya anggota Parlemen yang membuat
kebijakan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan rakyat
yang memilihnya. Kebijakan yang dibuat tentunya juga
menyangkut kebutuhan pelayanan yang dibutuhkan oleh
penyandang cacat sebagai warga negara. Bagi penca,
partisipasi untuk dapat dipilih dalam Pemilu adalah
penting sebagai "user" pelayanan publik untuk ikut
merumuskan kebijakan pelayanan yang dibutuhkannya,
karena sebagai "user" penca akan lebih tahu dan
mengerti apa kebutuhannya.
Dengan kata lain, penca perlu memiliki wakil di
Parlemen, untuk dapat menyuarakan aspirasi kaum penca
.
Kehadiran wakil penca di parlemen dapat melalui
partai politik ataupun dengan penunjukan dalam Utusan
Golongan. Penunjukan wakil penca di Parlemen melalui
Utusan Golongan dilakukan oleh beberapa negara seperti
Jepang, juga di Indonesia untuk Pemilu 1999.
Keterwakilan melalui Utusan Golongan bukanlah hal yang
mudah, karena memerlukan wakil yang benar-benar dapat
mewakili aspirasi penca yang terdiri dari berbagai
jenis kecacatan dan setiap jenis kecacatan mempunyai
kebutuhan yang berbeda. Untuk dipilih dalam proses
Pemilu, sistem Pemilu yang ada belum dapat memberikan
kesempatan bagi penca untuk menggunakan hak politiknya
secara wajar sebagaimana warga negara lainnya.

Beberapa Aturan Sistem Pemilu Berkenaan dengan
Kecacatan
Setiap negara memiliki aturan yang mengatur
keikutsertaaan warganegaranya dalam proses Pemilu.
Aturan Sistem Pemilu tersebut bagi penca dapat menjadi
pendorong untuk ikut serta berpartisipasi dalam Pemilu
dan juga sekaligus merupakan hambatan bagi
keikutsertaaanya dalam proses Pemilu. Berikut ini
beberapa aturan-aturan tersebut yang berlaku di
beberapa negara:
A. Aturan mengenai Pembatasan Keikutsertaan Penca
dalam Pemilu:
Batasan ini biasanya menyangkutkecacatan mental dan
fisik. Yang menyangkut kecacatan mental, di beberapa
negara aturan Pemilunya menyatakan bahwa seseorang
yang dinyatakan tidak waras atau dinyatakan berpikiran
tidak sehat dengan cara lainnya berdasarkan
undang-undang dilarang memilih atau mendaftar sebagai
pemilih. Di Italia, Belanda, Serbia dan Slovakia
secara jelas dinyatakan bahwa mereka yang sudah
kehilangan "kemampuan berusaha", "kemampuan bekerja"
dan "kecakapan" hukum dil;arang memilih dan mendaftar
untuk ikut dalam Pemilu.
Aturan Pemilu yang membatasi keikutsertaan penca
dalam Pemilu yang menyangkut kecacatan fisik biasanya
halangan yang menyangkut kemampuan berbicara. Hal ini
berlaku di Negara-negara Persemakmuran, misalnya
ketentuan : "seseorang dinyatakan memenuhi syarat
untuk dipilih sebagai anggota Dewan Nasional apabila,
dan tidak akan memenuhi syarat untuk dipilih, kecuali
jika dia..dapat berbicara,." Selain kemampuan bicara
juga ada aturan yang menyangkut kemampuan baca dan
tulis, seperti dinyatakan "seorang calon harus dapat
membaca dan menulis", di beberapa negara ketentuan ini
ditambah dengan "kemampuan membaca dan menulis dalam
bahasa nasional". Ketentuan-ketentuan tersebut
ditambah lagi dengan keharusan tidak tuli dan buta.

B. Aturan yang mendorong keikutsertaan Penca dalam
Sistem Pemilu
Aturan dalam sistem Pemilu tidak sepenuhnya
menghalangi keikutsertaan penca untuk berpartisipasi
dalam Pemilu, karena juga ada aturan yang mendorong
penca untuk ikut dalam pemilu, namun lebih untuk
keikutsetaan sebagai pemilih. Hal ini dapat dilihat
dari berbagai aturan sebagai berikut:

Bantuan bagi Pemilih untuk didampingi dalam memberikan
hak suaranya
Di beberapa negara, pemilih yang tidak mampu untuk
memilih sendiri karena kondisinya, diperbolehkan untuk
didampingi orang lain dalam memberikan pilihannnya. Di
Irlandia, misalnya dinyatakan bahwa jika seorang
pemilih adalah buta, ia boleh didampingi dalam
melakukan pemilihan, namun pemilih yang buta hanya
boleh didampingi oleh petugas Tempat Pemungutan Suara
(TPS), apabila ia cacat tubuh, ia boleh didampingi
oleh teman atau petugas TPS. Di beberapa negara,
ketentuan ini ditambah lagi dengan aturan bahwa si
pendamping harus mengambil sumpah atas kebenaran
keadaan ketidakmampuan sipemilih yang didampinginya
itu.

Bantuan memperoleh kemudahan dalam memilih tempat
suara dan format kertas suara dalam Pemilu

Lazimnya, pemilihan suara yang diberikan oleh pemilih
dilakukan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang telah
ditentukan. Di bebebrapa negara, pemilih penyandang
cacat diperbolehkan untuk menggunakan alternatif
lain. Di Australia, seandainya seorang pemilih berada
cukup dekat dengan TPS, namun tidak mampu hadir ke
tempat itu karena ketidakmampuan fisik, petugas yang
berwewenang dalam Pemilu membawakan kertas suaranya
atau pemilih dapat memberikan kartu suaranya lewat
kantor pos. Di Afrika Selatan, pemilih yang tidak
dapat datang ke TPS di mana mereka terdaftar, karena
kelemahan fisik dan atau mental, penca atau wanita
hamil dikategorikan sebagai pemilih khusus dan boleh
memberikan hak suaranya pada TPS khusus sehari sebelum
hari Pemilu dilaksanakan. Di Filipina, ada aturan yang
menyatakan bahwa petugas Pemilu harus memperhatikan
tempat pemungutan suara di seluruh wilayah di mana di
sana terdaftar pemilih penca, yaitu di berada di
lantai dasar. Di Srilanka dan Malawi, pemerintah
menyediakan transportasi bagi pemilih penca untuk
menuju dan kembali dari TPS.


Untuk format kertas suara, di Chili, pemerintah
menyediakan sebuah lempengan yang berisi huruf braile
atau kertas timbul bagi pemilih penca netra. Lempengan
tersebut diletakan di atas kertas suara biasa untuk
membantu si pemilih dalam menentukan calon yang
diinginkannya. Di Australia, disediakan Kartu Penunjuk
Pemilihan (How to Vote Card) bagi pemilih penca.
Melalui kartu tersebut, pemilih penca menjelaskan
kepada orang yang mendampinginya bagaimana ia menandai
kertas suara tersebut untuk calon yang dipilihnya.

Partisipasi Penca Indonesia dalam Pemilu
Jumlah penca di Indonesia cukup besar, menurut WHO
(1988) 10 per sen populasi dari setiap negara adalah
penca. Jika saat ini penduduk Indonesia diperkirakan
200 juta orang, maka 10 persen dari itu atau 20 juta
orang adalah penca. Namun, disayangkan jumlah yang
besar ini belum banyak yang menggunakan hak-hak
politiknya dalam pemilu, terutama hak politik untuk
dipilih sebagai anggota parlemen. Hal ini terutama
karena sistem pemilu yang ada saat ini belum
memberikan ruang yang sama kepada penca sebagai mana
warga negara Indonesia lainnya. Misalnya, salah satu
ketentuan yang dimuat dalam UU Pemilu menyebutkan
bahwa untuk dapat dipilih dalam Pemilu seeorang harus
dapat membaca dan menulis huruf latin. Persyaratan ini
jelas menggugurkan keikutsertaan calon penca yang
karena kecacatannya hanya mampu membaca dan menulis
dalm huruf Braile, belum lagi ketentuan-ketentuan lain
yang secara langsung atau tidak langsung menghalangi
keikutsertaan penca untuk dapat dipilih dalam Pemilu.
Untuk memberikan tempat kepada wakil penca di
Parlemen, dalam Pemilu 1999 yang lalu ditetapkan 2
orang penca dalm Utusan Golongan di MPR. Akan tetapi
kemudian timbul pertanyaan, siapa yang seharusnya
mengusulkan mereka untuk duduk di tempat terhormat
tersebut, karena begitu banyak organisasi kecacatan,
baik ormas maupun orsosnya, apakah mereka cukup
representative untuk mewakili beragam jenis kecacatan
mapun kompetensinya untuk menyuarakan aspirasi kaum
penca?
Pada sisi lain, jumlah penca yang besar ternyata cuma
dimanfaatkan oleh partai-partai politik yang ada untuk
mendapatkan suara darinya, misalnya, menjelang
Pemilu, partai-partai politik berlomba-lomba
memberikan santunan atau sumbangan untuk menarik
mereka. Padahal, yang diinginkan penca sebenarnya
bukan santunan yang sifatnya sementara, melainkan
suatu jaminan dari negara untuk mendapatkan pelayanan
dasar sebagai mana warga negara lainnya dan pelayanan
yang bersifat khusus berkenaan dengan kecacatannya.
Untuk memperbaiki partisipasi penca dalam pemilu,
barangkali penca sendiri perlu meningkatan
kesadarannya dalam berpolitik, termasuk untuk
menghimbau pihak-pihak yang berwewenang dalam proses
Pemilu memperbaiki sistem Pemilu yang ada.

Oleh Dra. Eva Rahmi Kasim, MDS

PEGAWAI PEMERINTAH MEMEGANG PERANAN PENTING DALAM KEBERHASILAN PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PENYANDANG CACAT

Anggota redaksi Info Societa, Dra. Eva Rahmi Kasim,
MDS, bersama DR. Yasin Siswanto, Asisten Deputi Bidang
Keamanan Sosial Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteran Rakyat, pada tanggal 23 sampai dengan 30
Maret yang lalu mendapat kesempatan untuk berkunjung
ke Bangkok, Thailand, mengikuti International
Workshop on Raising Disability Awareness of Public
Administration Personnel to Promote Disabled Person's
Inclusion in Development Process. Keikutsertaan
keduanya mewakili Indonesia dan keberangkatannya
disponsori oleh Colombo Plan dan UN-ESCAP (Komisi
Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik),
sebagai penyelenggaraan workshop yang pertama kalinya
diadakan bagi pegawai pemerintahan di kawasan Asia dan
Pasifik.

Colombo Plan adalah forum kerjasama negara Selatan
-selatan yang mempunyai kegiatan utama pada
pengembangan sumber daya manusia negara anggotanya
dalam rangka peningkatan pembangunan sosial dan
ekonomi. Saat ini negara yang tergabung dalam Colombo
Plan adalah: Afganistan, Australia, Bangladesh,
Buthan, Kamboja, Fiji, Indonesia, India, Jepang,
Korea, Laos, Malaysia, Maldev, Myanmar, New Zealand,
Pakistan, Papua Nugini, Philipina, Singapura,
Srilanka, Thailand, Vietnam dan Amerika Serikat.
Sedangkan UN-ESCAP adalah Komisi Ekonomi dan Sosial
Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Asia dan Pasifik.

Workshop diikuti oleh 20 peserta dari 14 negara itu
membahas beberapa pokok bahasan penting, yaitu
internasional mandats tentang kecacatan;
kecacatan,kemiskinan dan pembangunan; lingkungan yang
bersahabat bagi penyandang cacat; sebab dan pencegahan
kecacatan; kesehatan, pendidikan dan ketenagakerjaan;
dan mobilisasi sosial bagi peningkatan kualitas hidup
penyandang cacat. Workshop disampaikan dalam berbagai
format, antara lain diskusi kelompok, kunjungan
lapangan ke daerah kumuh Klong Toey di kota Bangkok,
latihan simulasi pengalaman kecacatan, panel diskusi,
presentasi dan pengembangan rencana aksi perorangan
dan kelompok. Berdasarkan hasil diskusi dan pemaparan
para peserta diketahui bahwa beberapa negara sudah
mengintegrasikan dan mengarusutamakan dimensi
kecacatan dalam program pembangunan yang didasarkan
atas prinsip-rinsip hak-hak penyandang cacat, namun
pelaksanaannya masih dihadapi pada berbagai kendala,
misalnya anggapan bahwa masalah penyandang cacat
semata-mata tugas dari kementerian sosial sehingga
sektor-sektor lain merasa tidak berkewajiban untuk
menanganinya, selain itu juga kurangnya dukungan
dansensitivitas dikalangan para pembuat kebutusan
terhadap masalah ini yang berakibat masalah
penyandang cacat dinomor duakan, termasuk dalam
pengalokasian dana pembangunan.

Deputy Executive Secretary UN ESCAP, Ms. Keiko Okaido,
mewakili Direktur UN-ESCAP, dalam pembukaan workshop
tersebut mengatakan bahwa selama lebih dari satu
dasawarsa, ESCAP menjadikan masalah kecacatan sebagai
salah satu prioritas program kerjanya, antara lain
dengan menetapkan tahun 1993-2002 sebagai Dekade
Penyandang Cacat Asia Pasifik beserta Agenda For
Action untuk mengisi dasawarsa itu. Hasilnya, selama
itu pula telah terjadi perbaikan dalam upaya
peningkatan kualitas hidup penyandang cacat, terutama
semakin banyaknya negara anggota yang memiliki
undang-undang penyandang cacat dan memiliki mekanisme
koordinasi nasional dalam program kecacatan. Dari
evaluasi yang dilakukan UN-ESCAP, diakuinya pula bahwa
masih banyak pula program-program kecacatan yang belum
berhasil, termasuk pula dalam pelibatan penyandang
cacat dalam pembangunan. Untuk itulah, maka UN-ESCAP
kembali memberi perhatian utama pada masalah ini
dengan menetapkan Dekade II Penyandang Cacat Asia
Pasifik 2003-2012 dan menghimbau negara-negara
anggotanya untuk melaksanakan program-program
kecacatan selama kurun waktu tersebut. Program ini
dituangkan dalam rencana aksi yang disebut Kerangka
Kerja Biwako Milenium yang dilahirkan pada pertemuan
pejabat pemerintahan anggota ESCAP di Otshu, Jepang
dan disetujui oleh para pejabat yang mewakili
negara-negara ESCAP. Kerangka Kerja Biwako Milenium
menetapkan 7 program prioritas yang harus menjadi
perhatian, yaitu: 1. Self-Help Organisasi Penyandang
Cacat dan Perkumpulan Orang Tua Penyandang Cacat, 2.
Wanita Penyandang Cacat, 3. Pencegahan, deteksi dan
intervensi dini kecacatan serta Pendidikan, 4.
Pelatihan dan penempatan kerja, 5. Akses terhadap
lingkungan dan transportasi umum, 6. Akses terhadap
informasi dan komunikasi serta 7. Pengentasan
kemiskinan melalui peningkatan kemampuan perlindungan
sosial dan kelangsungan hidup. Menurut Deputy
Executive Secretary UN-ESCAP, keberhasilan dalam
pencapaian pelaksanaan program kerja Biwako Milenium
ini di masing-masing negara sangat ditentukan oleh
para pegawai pemerintahan yang merupakan para pembuat
dan pelaksana kebijakan.

Sementara itu, Direktur Program Administrasi
Pemerintahan, Colombo Plan, Tomikazu Inagaki,
mengatakan bahwa sejak tahun 2002, Colombo Plan telah
melakukan peningkatan aktivitas dan diversifikasi
program termasuk pula berkoloborasi dengan berbagai
organisasi internasional dalam penyelenggaraan
pelatihan dan pendidikan bagi pegawai pemerintahan.
Hal ini bertujuan untuk pelaksanaan projects di bidang
perumusan kebijaksanaan ekonomi makro dan manajement
yang memperhatikan aspek-aspek pembangunan yang
berkelanjutan, masalah lingkungan, penghapusan
kemiskinan, good governance , pemanfaatan Informasi
dan Teknologi dalam administrasi, kerjasama eknomi
internasional dan sebaginya.

Mengunjungi Klong Toey, daerah kumuh kota Bangkok

Klong Toey adalah daerah kawasan paling kumuh di kota
Bangkok, kontras dengan gedung-gedung pencakar langit,
pusat perbelanjaan dan hotel-hotel mewah disekitarnya.
Daerah ini didiami oleh lebih dari 1000 komunitas
miskin. Mereka yang tinggal di area tersebut umumnya
bekerja di sektor informal, seperti pemulung, pekerja
pelabuhan, pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima
dan juga pengangguran yang datang dari daerah pedesaan
di sekitar kota Bangkok. Para peserta workshop
mengunjungi daerah ini untuk melihat sendiri
permasalahan sosial yang ada di daerah itu dan
sekembalinya dari kunjungan tersebut mendiskusikan
kenyataan yang dilihat di lapangan dan kemudian
membuat rencana kerja untuk mengatasi persoalan
semacam itu, khususnya yang berkaitan dengan
permasalahan penyandang cacat dan keluarganya yang
berdiami daerah miskin perkotaan.

Para peserta juga melakukan diskusi dengan para
aktivist penyandang cacat lokal dan sebuah lembaga
organisasi masyarakat setempat yang sejak tahun 1978
terus menerus melakukan perbaikan kehidupan warga
daerah kumuh ini dari berbagai aspek. Lembaga
organisasi masyarakat itu bernama Duang Prateep
Foundation dan didirikan oleh warga daerah kumuh itu
dan merekruit pekerja sosial masyarakat yang berasal
darikalangan penduduk miskin itu sendiri.

Latihan Simulasi Kecacatan
Latihan Simulasi Kecacatan merupakan salah satu
program workshop yang paling berkesan bagi peserta.
Dalam program ini, para peserta yang umumnya bukan
penyandang cacat itu selama setengah hari menjalani
pelatihan seakan-akan mereka adalah para penyandang
cacat. Peserta yang seolah-olah pengguna kursi roda,
pemakai tongkat putih dan lansia yang rapuh ,
mendatangi tempat-tempat keramaian seperti pasar dan
jalan-jalan umum. Mereka merasakan bagaimana susahnya
menjadi penyandang cacat, baik dalam menghadapi
lingkungan fisik seperti trotoar, dan bangunan yang
tidak bersahabat dengan kondisi kecacatan, juga
pandangan dan sikap orang-orang sekitar yang melihat
aneh pada kondisi mereka.

DR Yasin Siswanto dalam simulasi itu berperan
sebagai pengguna kursi roda mengungkapkan
pengalamannya bahwa ternyata tidak mudah menggunakan
kursi roda, "diperlukan banyak energi untuk mendorong
sendiri kursi roda , lebih dari apa yang saya
perkirakan sebelumnya". Hal senada juga dikemukakan
oleh Muhammad Madjid dari Pakistan yang dinegerinya
adalah seorang direktur untuk urusan pendidikan khusus
( di Indonesia pendidikan luar biasa). Ia yang
berperan sebagai orang lanjut usia yang bermasalah
dengan fungsi-fungsi tubuh seperti penglihatan yang
kabur, tungkai yang lemah dan kaku, mengaku selama
setengah hari menjalani pelatihan ia merasa seluruh
tubuh menjadi lemas tanpa daya dan membutuhkan bantuan
orang lain," apalagi bila hal itu benar-benar
terjadi".

Ya, kebanyakan orang tidak akan pernah mengerti
seperti apa dan bagaimana masalah penyandang cacat,
kecuali bila pernah merasakannya. Itulah ide
dibelakang penyelenggaraan latihan simulasi ini untuk
menimbulkan rasa sensitivitas mereka terhadap isu
kecacatan. (eva)


Laporan dari International Workshop
on Raising Disability Awareness of Public
Administration Personnel
to Promote Disabled Person's Inclusion in Development
Process,
Bangkok, 24 s/d 29 Maret 2003

MASALAH PENYANDANG CACAT DAN ASPEK BUDAYA

Lebih dari dua dasawarsa yang lalu terjadi perubahan
penting dalam paradigma penanganan penyandang cacat
yang dipelopori terutama oleh para penyandang cacat
itu sendiri. Perubahan itu adalah pergeseran dari
memandang kecacatan sebagai akibat kerusakan atau
kelainan anatomi atau kelainan fungsi fisik atau
mental seseorang yang menyebabkannya tidak dapat
melakukan aktivitas secara 'normal', menjadi sikap
penerimaaan masyarakat terhadap seseorang yang
mengalami kelainan atau kerusakan fungsi fisik atau
mental (diskriminasi dan stigmasi). Atau yang sering
disebut sebagai perubahan pendekatan dari yang
bersifat medis kepada pendekatan sosial, dari
penanganan masalah individual kepada penanganan yang
bersifat struktural.

Sejak lebih dari duawarsa pula, masalah penyandang
cacat juga menjadi issu international penting yang
menjadi perhatian masyarakat dunia. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai mandat dan instrument
internasional yang dikeluarkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan badan internasional lainnya
yang menyebut dimensi kecacatan. Keprihatinan atas
kondisi kehidupan para penyandang cacat di berbagai
belahan dunia yang jauh tertinggal dalam berbagai
aspek kehidupan, mendorong timbulnya komitment
internasional untuk memberi perhatian bagi kelompok
masyarakat yang terpinggirkan ini.

Tahun 1981, ditetapkan oleh PBB sebagai Tahun
Internasional Penyandang Cacat. Hal ini dimaksudkan
agar masyarakat dunia di tahun tersebut mulai
memberikan perhatian bagi perbaikan kualitas hidup
penyandang cacat yang didasarkan pada prinsip
persamaan kesempatan dan partisipasi penuh dalam
berbagai aspek kehidupan. Untuk mempertegas komitment
tersebut, setahun kemudian, yaitu tahun 1982 PBB dalam
sidang Majelis Umum mengeluarkan Resolusi No. 37/52
tentang Program Aksi Dunia bagi Penyandang Cacat.
Resolusi ini berisi pedoman bagi para pemerintahan
untuk membuat kebijakan , rencana dan monitoring
program-program bagi perbaikan kualitas hidup
penyandang cacat. Dan untuk melaksanakan resolusi ini,
PBB menetapkan tahun 1983 - 1992 sebagai Dasawarsa
Internasional Penyandang Cacat. Diharapkan dalam kurun
waktu itu terjadi perbaikan kehiupan penyandang cacat.
Diakhir Dasawarsa Internasional di tahun 1993, PBB
mengeluarkan Peraturan Standarisasi bagi Persamaan
Kesempatan Penyandang Cacat dalam berbagai aspek.

Sepuluh tahun kemudian, semakin banyak negara yang
memberi perhatian pada program-program kecacatan,
namun perbaikan kehidupan penyandang cacat yang nyata
terjadi begitu lambat, hal ini terutama terjadi di
kawasan Asia dan Pasifik. Untuk itu, Komisi PBB di
bidang Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik
(UN-ESCAP) memandang perlu memperpanjang Dasawarsa
Internasional Penyandang Cacat untuk Asia dan Pasifik
satu dasawarsa lagi. Selain itu, ESCAP juga
mengeluarkan pedoman yang berisi 12 bidang utama yang
menjadi keprihatinan untuk dilaksanakan selama kurun
waktu 1993-2002. Hasilnya, satu dasawarsa
internasional dan satu dasawarsa Asia dan Pasifik
memang membawa perubahan pada kepedulian terhadap
penyandang cacat di berbagai belahan dunia, hal ini
terutama di bidang peraturan perundang-undangan, yaitu
dapat dilihat dari semakin banyaknya pemerintahan yang
memiliki undang-undang penyandang cacat dan berbagai
peraturan yang didasarkan pada prinsip persamaan
kesempatan dan partisipasi penyandang cacat dalam
berbagai aspek kehidupan. Bahkan, di beberapa negara
juga dibentuk komisi pemantau pelaksanaan
undang-undang tersebut.

Hal ini dapat diartikan juga sebagai suatu pengakuan
perlunya kerangka hukum dalam mengatasi masalah
penyandang cacat. Namun begitu, dalam kenyataan ,
tidak terjadi berubahan yang signifikan pada
perbaikan kualitas kehidupan para penyandang cacat.
Mereka tetap tersisih dari berbagai kemajuan, tetap
mengalami berbagai hambatan dalam mengakses pelayanan
dan fasilitas sosial pokok, seperti pendidikan,
kesehatan, lapangan kerja.

Suatu pertanyaan yang menggelitik bagi saya, mengapa
implementasi program-program penyandang cacat yang
sudah menjadi agenda internasional ini tidak membawa
perubahan yang signifikan bagi penyandang cacat,
terutama di kawasan Asia dan Pasifik dibanding dengan
apa yang terjadi di negara-negara barat seperti
Amerika dan Eropa?. Padahal hampir semua negara di
kawasan ini sudah memiliki undang-undang penyandang
cacat dan peraturan pelaksananya, namun sepertinya
perundang-undangan beserta peraturan pelaksana yang
telah dibuat itu tidak lebih sebagai retorika belaka.


Kita sering mendengar dan mungkin juga melihat dan
mengalami bagaimana negara-negara barat mengakomodasi
kebutuhan penyandang cacat, seperti penyediaan
aksesibilitas fisik semacam ramp pada fasilitas
publik, transportasi maupun bangunan. Juga membuka
akses di bidang ketenagakerjaan , pendidikan dan
berbagai aspek lainnya bagi warga yang menyandang
cacat.

Apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki hal ini.
Haruskah kita melakukan demonstrasi di jalan maupun
parlemen untuk menuntut pelaksanaan persamaan hak yang
telah diundangkan bilamana pemerintah tidak
menyediakan fasilitas pelayanan sebagaimana yang
diamanatkan undang-undang?

Dalam menjawab tantangan ini, saya melihat beberapa
hal yang harus kita cermati , yaitu: 1. Karekteristik
Penyandang Cacat di Asia. 2. Aspek budaya masyarakat
Asia dan penerimaan mereka terhadap kecacatan.

1. Karekteristik Penyandang Cacat Asia
Populasi Penyandang cacat Asia adalah 2/3 dari
penyandang cacat dunia. Mereka tersebar di lebih 36
negara yang disebut Asia, yang umumnya adalah
negara-negara dengan ekonomi yang sedang berkembang.
Menurut laporan ESCAP, penyandang cacat di kawasan ini
umumnya hidup dalam keadaan paling miskin dan hidup di
lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan di
banding dengan warga masyarakat lainnya. Hal ini dapat
dipahami karena sebagian besar masyarakat Asia
bermukim di wilayah pedesaan dan miskin. Masyarakat
pedesaan jarang tersentuh pelayanan modern . Pelayanan
rehabilitasi modern bagi penyandang cacat di banyak
negara Asia, baru dimulai setelah perang dunia II. Itu
pun khusus ditujukan bagi korban perang. Umumnya
pusat-pusat rehabilitasi berada di perkotaan atau
pinggiran kota. Dengan gambaran kondisi penyandang
cacat dan sejarah pelayanan yang demikian, dapat
dibayangkan banyak penyandang cacat yang tidak
tersentuh pelayanan rehabilitasi, juga dapat
dipastikan mereka tidak pernah berpikir tentang
persamaan kesempatan dan partisipasi dalam berbagai
aspek kehidupan.

2. Budaya dan Sikap Penerimaan Masyarakat Asia
terhadap Penyandang Cacat.

Keberadaan penyandang cacat di kalangan masyarakat
Asia, sudah ada sepanjang sejarah bangsa -bangsa di
Asia. Seperti komunitas lainnya, bangsa Asia juga
memiliki cara pandang dan dan sikap terhadap
penyandang cacat yang merupakan refleksi dari budaya
mereka. Pemahaman konsep persamaan kesempatan dan
partisipasi penyandang cacat dalam perspektif budaya
Barat barangkali bisa berbeda dengan perspektif budaya
masyarakat Asia.
Kita tidak dapat pungkiri bahwa dalam komunitas
internasional, peran budaya Barat begitu dominan. Maka
tidak mengherankan bila dokumen/instrumen
internasional yang dikeluarkan juga kental nuansa
cara pandang budaya Barat. Akibatnya, ketika instrumen
tersebut diterapkan dalam perspektif budaya yang
berbeda menjadi tidak matching .
Misalnya, dalam masyarakat Barat, seseorang
digambarkan bebas dari konteks atau idependent.
Konteks di sini dimaksudkan adalah kondisi sosial dan
budaya di sekitarnya yang mempengaruhi kehidupan
seseorang, kelompoknya atau komunitas masyarakat
secara keseluruhan. Dalam budaya Barat, sesorang
dianggap memiliki otonomi atas dirinya, yang memiliki
kontrol atas dirinya sendiri dan pilihannya. Perilaku
diinterpretasikan melalui pemikiran atau perasaan dan
tindakan individual daripada keelompok. Misalnya
penganutan pada nilai-nilai kemandirian,
keterusterangan dan atribut-atribut yang bersifat
personnal. Mereka juga meyakini bahwa hanya
orang-orang yang memiliki kemampuan fisik dan mental
yang dapat berpartisipasi dan persamaan di dalam arus
kehidupan sehingga design pengorganisasian masyarakat
dan lingkungan adalah refleksi dari pemahaman ini.

Hal yang sebaliknya pada budaya Asia, pada masyarakat
Asia sesorang dinilai atau terkait dengan konteks atau
lebih pada lingkungannya. Misalnya, penganutan pada
nilai-nilai kekeluargaan, tanggungjawab kelompok atau
keluarga, penjenjangan dalam memikul tanggung jawab
(biasanya tertuju pada anggota yang tertua/senior),
penghormatan pada senioritas dan menjaga perasaan
orang lain serta kesetiaan pada kelompok. Nilai-nilai
untuk menentukan sendiri keputusan tidak begitu
dikenal pada masyarakat ini. Kepentingan individu
menjadi nomor dua setelah kepentingan kelompok.
Seseorang bisa jadi memendam keinginannya untuk
menghindari konflik dan menjaga keselarasan kelompok
ketimbang mendapat tekanan daripada kelompok.

Sebagai refleksi dari budaya yang demikian, seorang
penyandang cacat Asia bisa jadi tersosialisasi bahwa
kelompok (keluarga) akan memenuhi segala kebutuhannya,
karena mereka berkewajiban memelihara anggotanya. Hal
ini mungkin menyebabkan kurangnya kesadaran individual
pada kewajiban non-personnal kelompok di dalam
masyarakat. Dikalangan masyarakat Asia, seseorang
sejak masa kanak-kanak sudah tersosialisasi untuk
'menerima' apa yang disediakan tanpa mengeluh dan ini
juga mungkin yang menyebabkan seorang penyandang cacat
di kebanyakan negara Asia enggan mengungkapkan
keinginannya atau tidak berani mengungkapkan
kebutuhannya secara terus terang untuk menghindari
konflik atau tekanan dari warga lainnya.

Pemahaman ajaran agama dan nilai-nilai kepercayaan di
kalangan masyarakat Asia juga memegang peranan penting
dalam perbaikan kualitas hidup penyandang cacat.
Setiap agama dan kepercayaan memiliki ajaran yang
menggambarkan sikap terhadap penyandang cacat dan
sepintas terkesan seperti bersifat 'mendua', pada satu
sisi melukiskan kepasrahan total pada keadaan dan pada
sisi lain menggambarkan semangat atau memberikan
motivasi, sayangnya sikap yang pertamalah yang lebih
menonjol, karena pentafsiran yang sempit dari ajaran
tersebut. Misalnya, dikalangan ummat Islam (salah satu
agama yang paling banyak dianut di Asia) dipercayai
adanya takdir. Sesungguhnya takdir bisa
diinterpretasikan sebagai sesuatu yang bersifat baik
dan buruk, sesuatu yang bisa diubah. Tetapi kebanyakan
muslim terbiasa diajarkan untuk menerima kondisi
kehidupannya sebagai suatu takdir yang tidak bisa
berubah. Misalnya, seorang keluarga yang memiliki anak
cacat, pasrah dengan keadaan tersebut tanpa berusaha
untuk melakukan intervensi dini terhadap kecacatan
itu. Padahal, kalau intervensi dini dilakukan
permasalahan kecacatannya dapat diminimalisasi dan
anak dapat disiapkan untuk menyesuaikan kecacatannya
dengan kehidupan yang akan dijalani selanjutnya.

Pemahaman yang salah atau pentafsiran yang sempit
terhadap ajaran agama lainnya , misalnya, umumnya
agama mengajarkan pengikutnya untuk bersabar dalam
penderitaan karena surga adalah balasannya.
Hal ini dipahami bahwa memiliki kecacatan atau anggota
keluarga penyandang cacat sebagai suatu ujian untuk
tahan menderita, tidak mengeluh dan menerima kondisi
tersebut apa adanya tanpa berusaha untuk melakukan
perubahan apapun , misalnya melalui upaya rehabilitasi
. Kepercayaan masyarakat setempat terhadap kecacatan
juga mempengaruhi sikap terhadap penyandang cacat,
misalnya, kecacatan masih dianggap sebagai sesuatu aib
dan memalukan, sehingga anggota penyandang cacat harus
disembunyikan dari penglihatan warga lainnya.

Di banyak negara yang ekonominya maju, terdapat
kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan dan
asuransi sosial (social security dan social insurance)
bagi warga negaranya, terutama kaum penyandang cacat ,
lanjut usia dan miskin. Di kebanyakan negara Asia, hal
semacam ini belum tersentuh dan masih bergantung pada
upaya yang bersifat belas kasihan dari warga lainnya,
terutama dari orgabisasi sosial dan keagamaan. Dan
sayangnya, ini pun belum terorganisir dengan baik,
baik dalam pemungutannya maupun penyalurannya.
Misalnya, dalam agama Islam ada kewajiban pengikutnya
untuk membayar zakat. Dengan berzakat diajarkan bahwa
harta yang kini miliki adalah juga kepunyaan Allah,
dan setiap muslim wajib berbagi kepemilikannya itu
kepada kaum yang memerlukan.

Cara pandang dan sikap terhadap penyandang cacat
seperti yang disebutkan di atas juga berpengaruh
terhadap terhadap sikap atau perlakuan yang dianggap
"baik" atau" buruk" bagi penyandang cacat dalam suatu
komunitas masyarakat. Bisa jadi apa yang dianggap
"baik" dari sudut pandang masyarakat berbudaya Asia ,
bagi orang Barat "tidak baik" . Akan tetapi hal ini
tidak berarti bahwa persamaan persepsi dalam memandang
kecacatan tidak dapat dilakukan. Pada dasarnya budaya
adalah suatu interaksi yang dinamis dari berbagai
faktor. Untuk mencapai suatu masyarakat yang dapat
mengakomodasikan kebutuhan penyandang cacat yang
didasarkan pada prinsip persamaan dan partisipasi ,
perbedaan-perbedaan ini perlu diperhatikan dalam
implementasi program yang bersifat internasional di
negara-negara yang berlatar belakang budaya non-Barat.
Untuk itu, penyampaian informasi yang benar tentang
kecacatan perlu ditujukan pada semua tingkatan
masyarakat baik individual maupun kelompok dengan
memanfaatkan semua potensi yang ada di kalangan
masyarakat itu sendiri. misalnya, melalui si
penyandang cacat, keluarga, pemuka keagamaan, pemuka
masyarakat formal, para profesional. Organisasi
Penyandang Cacat barangkali bisa memprakasai pelatihan
sensitivitas budaya pada setiap pelatihan kecacatan
dan program-program yang dilakukan pemerintah
hendaknya juga program kecacatan yang peka terhadap
budaya lokal (cultural sensitivity programs). Dengan
cara itu akan timbul persamaan persepsi dan sikap yang
mendukung ke arah perbaikan kualitas hidup penyandang
cacat.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah penguatan
organisasi mandiri penyandang cacat (self-help group)
pada tingkat akar rumput dan mereka yang bermukim di
daerah pedesaan dan terpencil. Harus diakui, kita
selalu terfokus pada organisasi kecacatan pada tingkat
nasional, dan melupakan mereka yang berada pada
tingkat akar rumput. Padahal, pemberdayaan penyandang
cacat yang paling efektif dimulai dari organisasi
self-help group pada tingkat akar rumput

Oleh :Dra. Eva Rahmi Kasim,MDS

(Disarikan dari makalah yang disampaikan pada
Konggress Dunia ke-6
Organisasi Penyandang Cacat Dunia (DPI) di
Saporo,Jepang ,Oktober 2002)

Wednesday, December 08, 2004

TINJAU KEMBALI REHABILITASI PENYANDANG CACAT

Bulan Juni lalu di Oslo ibukota Norwegia, berlangsung
Kongres Dunia Rehabilitasi Internasional yang ke-20.
Kongress yang diikuti oleh lebih dari seribu orang
peserta dari 76 negara di seluruh dunia membahas
pelaksanaan rehabilitasi penyandang cacat dengan fokus
pada 3 perspektif, dalam proses rehabilitasi.

Suasana musim panas (summer) ketika itu tidak begitu
terasa , karena hampir setiap hari hujan turun dengan
suhu berkisar 9 hingga 18 derajat celcius. "Kami biasa
menghadapi musim seperti ini dan kami menyebutnya
'Green Winter'", kata seorang peserta tuan rumah.
Cukup dingin memang, khususnya bagi pendatang yang
berasal dari daerah tropis. Tetapi dinginnya cuaca
tidak mengurangi semangat dan antusiasme peserta untuk
mengikuti konggress dunia organisasi Rehabilitation
International yang digelar setiap empat tahun sekali
yang pada tahun ini merupakan konggress dunia ke-20
sejak organisasi ini berdiri tahun 1922.

Pada pertemuan tersebut dibahas antara lain upaya
peningkatan kualitas hidup penyandang cacat dalam
berbagai aspek kehidupan ditinjau dari 3 pilar utama
dalam proses rehabilitasi, yaitu perspektif user
(penyandang cacat), perspektif hak asasi manusia/
warga serta perspektif multikultural. Dari pertemuan
yang berlangsung selama hampir lima hari tersebut,
dapat disimpulkan adanya pengakuan terjadinya
kesenjangan dalam proses rehabilitasi penyandang cacat
selama ini dan peningkatan kesadaran akan pentingnya
partisipasi dan pelibatan penyandang cacat serta
pengaruh mereka dalam proses rehabilitasi. Selain itu
juga pentingnya perhatian terhadap hak-hak asasi
penyandang cacat sebagai manusia dan sebagai warga
negara yang mengakselerasi sistem rehabilitasi di
seluruh dunia. Ditambahkan pula , meskipun penanganan
masalah rehabilitasi penyandang cacat sudah
mengglobal, namun tidak mudah untuk membuat kebijakan
dan melaksanakannya di tingkat lokal, karena
masyarakat berbeda satu tempat dengan tempat lainnya .
Oleh sebab itu diperlukan perumusan kebijakan dan
praktek untuk mengatasi masalah tersebut berdasarkan
pendekatan multikultural.

Konggress dibuka secara resmi oleh Menteri Sosial dan
Tenaga Kerja Norwegia, Dagfinn Hoybraten yang
menduduki jabatan tersebut 3 hari sebelum konggress
berlangsung (sebelumnya ia menduduki posisi Menteri
Kesehatan). Dalam sambutannya, Dagfinn mengungkapkan
bahwa pelaksanaan rehabilitasi selama ini ini sering
digambarkan sebagai bentuk dominannya para profesional
serta pengeekslusifan dan tersegregasinya (di
pusat-pusat rehabilitasi) penyandang cacat dari
mainstream masyarakat. Pemahaman rehabilitasi yang
dianggap sebagai upaya pemulihan fungsi fisik atau
mental sebagai akibat kerusakan atau kehilangan fungsi
yang disebabkan oleh sakit (penyakit), rehabilitasi
dilaksanakan agar dapat melakuan aktivitas sebagaimana
yang "normal" dengan memperbaiki kerusakan atau
kehilangan fungsi tersebut, untuk saat ini pemahaman
itu tidak dapat menjawab persoalan penyandang cacat.
"Masalahnya, bukan kerusakan atau kehilangan fungsi
tubuh atau mental yang menghalangi penyandang cacat
untuk berpartisipasi, tetapi cara pengorganisasian
masyarakat ",

Sejak tahun 1999, Norwegia, melalui White Paper on
Rehabilitation menyatakan rehabilitasi sebagai suatu
proses yang direncanakan dengan sebaik-baiknya tujuan
serta perangkatnya dengan beberapa unsur pekerja
(profesional) untuk membantu usaha yang dilakukan
penyandang cacat untuk mencapai kemungkinan yang
sebaik-baiknya dalam melakuan fungsi dan mengatasi
persoalannya, serta kemandirian dan berpartisipasi
secara sosial dan di masyarakat. Diungkapkannya,
negaranya saat ini tengah berupaya memperjuangkan
suatu masyarakat yang inklusif. Dicontohkannya
beberapa upaya yang dilakukan di negara Skandinavia
tersebut, antara lain dengan mencipatakan aksess yang
lebih baik bagi penyandang cacat, termasuk dalam
mendapatkan alat bantu (assistive devices) dan dalam
lapangan pekerjaan, juga dalam memajukan pendidikan
terpadu bagi anak-anak yang menyandang cacat. Ia juga
menyatakan bahwa negaranya termasuk dari beberapa
negara yang aktif dalam menegakan hak-hak asasi
manusia di seluruh dunia melalui team kerjasama
internasionalnya.

Rethinking Rehabilitation
Konsep dan pelaksanaan rehabilitasi penyandang cacat
merupakan salah satu pokok bahasan penting pada
konggres yang bertemakan Rethinking Rehabilitation
tersebut. Di banyak negara, konsep dan pelaksanaan
rehabilitasi penyandang cacat berakar dari suatu
pendekatan medis dan individual. Menurut pendekatan
ini,keberfungsian secara fisik dan mental seseorang
merupakan prasyarat baginya untuk dapat menentukan
kehendaknya dan berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas, karenanya upaya perbaikan fungsi fisik dan
mental tersebut menjadi fokus dalam proses
rehabilitasi. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa berbagai bentuk
terapi tidaklah penting, namun cara ini juga
direfleksikan dalam kehidupan sosial yang menyebabkan
terhambatnya para penyandang cacat mendapatkan
kesempatan berpartisipasi secara sama dalam berbagai
aktivitas dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, ketika
seorang pemakai kursi roda tidak bisa menaiki bus, hal
ini bukan disebabkan oleh karena kakinya yang tidak
berfungsi sehingga harus menggunakan kursi roda
tersebut, tetapi buslah yang tidak aksessible. Dengan
kata lain, rehabilitasi tidak cuma untuk memperbaiki
kerusakan atau ketidaknormalan fungsi fisik atau
mental seseorang, tetapi juga berkaitan dengan faktor
di luar individu tersebut, seperti sikap masyarakat di
sekitarnya dan kondisi lingkungan.

Kritikan terhadap penanganan masalah penyandang cacat
tersebut sesungguhnya sudah direspon Organisasi
Kesehatan Sedunia (WHO) dan para profesional yang
bekerja di bidang rehabilitasi. WHO, misalnya, sejak
tahun 2001 sudah merevisi definisi penyandang cacat.
(Perlu diketahui bahwa definisi WHO tentang penyandang
cacat menjadi acuan banyak negara tentang penyandang
cacat). Sebelum tahun tersebut, WHO mengeluarkan
pedoman yang disebut International Classification of
Impairment, Disability and Handicap. Ada 3 konsep yang
dibedakan, yaitu: Impairment, adalah hilangnya atau
ketidaknormalan struktur atau fungsi psikologis, fisik
atau anatomi. Sedangkan disability mengacu kepada
keterbatasan kemampuan untuk melakukan aktivitas
secara "normal" yang disebabkan oleh impairment .
Disability digambarkan sebagai gangguan fungsional
yang dialami sesorang. Adapun handicap, merupakan
ketidakberuntungan sesorang yang diakibatkan oleh
impairment dan disability yang menyebabkan ia tidak
dapat melakukan perannya secara sosial maupun ekonomi
(tergantung pada konteks usia, kelamin, sosial dan
budaya).

WHO merevisi konsep ini dengan sebutan International
Classification of Functioning Disability and Health
(ICF). Pada konsep yang baru ini, imparment bukanlah
satu-satunya faktor yang menjadi fokus dalam menilai
keberfungsian kemampuan seseorang. Ada 2 komponen
utama yang perlu dipelajari dalam memahami masalah
penyandang cacat. Yaitu: Functioning (keberfungsian)
dan Disability (ketidakmampuan). Bagian pertama
meliputi keberfungsian badan/anatomi dan struktur
serta aktivitas dan partisipasi. Sedangkan bagian
kedua terdiri dari Faktor-faktor kontekstual, seperti
faktor lingkungan dan faktor -faktor yang sifatnya
peersonal. Menurut konsep ini, masalah penyandang
cacat timbul sebagai interaksi dari berbagai
komponen-komponen tersebut.

Dari pemahaman tersebut diyakini bahwa kegiatan
rehabilitasi penyandang cacat seharunya tidak identik
dengan institusionalised penyandang cacat . Bukan juga
beberapa bentuk pelayanan khusus karena pelayanan
khusus itu tidak dapat dikatakan sebagai rehabilitasi.
Yang pasti, rehabilitasi adalah apapun yang dilakukan
untuk membantu usaha penyandang cacat mencapai
tujuannya menjadi anggota masyarakat yang berfungsi
penuh dalam masyarakatnya, dan hal ini harus dilakukan
secara menyeluruh dan terpadu.
Tentang Organisasi Rehabilitasi Internasional
Rehabilitation International adalah suatu organisasi
federasi internasional yang merupakan jejaring dunia
mencakup para penyandang cacat, pemberi
pelayanan/profesional di bidang rehabilitasi serta
organisasi pemerintahan dan badan-badan internasional
yang bekerjasama untuk meningkatkan kualitas hidup
penyandang cacat dan keluarganya menunju dunia yang
bebas hambatan, tanpa diskriminasi berdasarkan hak-hak
asasi melalui upaya pencegahan kecacatan, memajukan
persamaan kesempatan dan partisipasi penyandang cacat
di segala bidang. Organisasi yang berkedudukan di New
York , Amerika Serikat , ini mempunyai anggota di
lebih 80 negara di seluruh dunia. Organisasi ini
memiliki para profesional di bidangnya yang
dikelompokan dalam beberapa komisi, seperti Komisi
Medis, Komisi Sosial, Komisi Pendidikan, Komisi
Technologi dan Informasi serta Akssibilitas, Komisi
Ketenaga Kerjaan serta Komisi Rekreasi dan Olah Raga.

Indonesia merupakan salah satu anggota Rehabilitasi
Internasional yang perwakilannya di Indonesia berada
di bawah Yayasan Pemeliharaan Anak Cacat (YPAC). Untuk
kawasan Asia dan Pasifik, peranan Indonesia termasuk
anggota yang aktif. Di tahun 1995, National Secretary
Rehabilitation International For Indonesia, menjadi
penyelenggara konferensi organisasi ini untuk kawasan
Asia dan Pasifik, yang dikenal dengan Asperari. Selain
itu juga menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi
Internasional tentang Tourism bagi penyandang cacat.
Sejak tahun 1998 hingga 2004, National Secretary
Rehabilitation International for Indonesia yang
dijabat oleh Ibu Mieke Soegeng Soepari mendapat
kepercayaan sebagai pengurus eksektif (Vice President)
untuk wilayah Asia dan Pasifik.

Beberapa aktivitas yang telah dilakukan organisasi
Rehabilitasi Internasional antara lain, di tahun 1999
mengusulkan kepada PBB tentang pentingnya Konvensi PBB
tentang Hak-hak Penyandang Cacat. Saat ini Draft
konvensi tersebut sedang dalam pembahasan akhir
Panitia Ad Hoc PBB di mana RI (Rehabilitation
International) adalah salah satu anggota panitia
tersebut. RI bersama dengan UNICEF menyediakan
dukungan sebagai focal point yang berkaitan dengan
permasalahan anak-anak penyandang cacat. Selain itu
menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan
masalah penyandang cacat secara periodik dalam bentuk
jurnal maupun melalui website. RI juga yang
memprakasai simbol aksess internasional serta
mendirikan berbagai lembaga di bidang rehabilitasi
berbasiskanmasyarakat.
(Eva Kasim, salah satu delegasi Indonesia yang
mengikuti World Konggress of Rehabilitation di